Selasa, 22 Januari 2013

Hakekat Pendidikan Seni Rupa di SMA



     Belajar seni lukis tidak harus...
      Belajar seni lukis tidak harus menjadi pelukis. Bahwasanya seni lukis, dan seni rupa umumnya, bukanlah sebuah pelajaran eksklusif yang tak berhubungan dengan pelajaran lain. Boleh-boleh saja menjadi dokter, insinyur, tentara, bisnisman ataupun politikus, tetapi kesemua profesi itu akan lebih bermakna manakala juga menguasai seni lukis atau seni rupa.

     Pemahaman mengenai hakekat seni rupa itulah yang musti dipahami oleh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang notabene merupakan sekolah umum, bukan sekolah kejuruan, apalagi sekolah menengah khusus seni rupa. Tanpa pemahaman yang tepat, maka pelajaran seni rupa akan diremehkan, dianggap tidak ada manfaatnya. Apalagi, jelas-jelas pelajaran seni rupa tidak ada kaitannya sama sekali dengan ujian nasional.
 
     Mengapa seni rupa merupakan hal penting? Karena melalui seni rupa (atau seni apa saja) sebetulnya orang dapat melatih kepekaan rasa, mengolah emosi, mempertajam perasaan, dan menyalurkan apa yang menjadi ungkapan hati serta melatih kreativitas. Melalui seni rupa kita dapat mengubah bahasa rasa menjadi bahasa visual. Apakah yang disebut sedih? Gembira? Terpesona? Kagum? Dan sebagainya. Itu semua bahasa perasaan, yang tak bisa dideskripsikan melalui kata-kata secara tepat, melainkan hanya dapat diungkapkan melalui karya seni, termasuk seni rupa.
 
      Seni lukis dapat menjadi “jembatan keledai” untuk melakukan pengamatan secara lebih teliti. Sebut saja wajah teman sekolah kita yang ketemu tiap hari, bisa saja sudah merasa hapal sampai dengan letak jerawatnya misalnya. Tetapi ketika kita mencoba memindahkannya di atas kanvas, atau kertas lukis, maka akan ditemukan hal-hal baru yang lebih detil. Misalnya saja, posisi alisnya cenderung tidak simetris, atau garis bibirnya ternyata agak melengkung ke arah tertentu, atau juga bisa jadi ditemukan ada titik kecil di pipinya. Temuan-temuan seperti ini sangat penting sebagai latihan untuk melakukan pengamatan secara teliti.
 
      Hal yang sama dapat dilakukan ketika melukis selembar daun misalnya. Kita menjadi tahu bagaimana susunan rangkanya, bagaimana detil garis pinggir daunnya, bahkan dalam hal warna kita juga bisa mengamati dengan jelas bagaimana gradasi warnanya. Bukankah pengamatan daun ini merupakan dan pasti ada hubungannya dengan pelajaran biologi (khususnya botani?). Ini hanya salah satu contoh, bahwa kemampuan melukis ternyata erat hubungannya dengan pelajaran biologi.
 
      Demikian pula ketika praktek biologi (khususnya zoology, yang merupakan cikal bakal kedokteran), dengan mengamati mikroskop, maka akan didapatkan gambaran yang unik dari jaringan tubuh, tetes darah, atau sel-sel hewan. Nampakan melalui lensa mikroskop itu tentu akan menjadi obyek yang sangat menarik ketika divisualkan ke atas kanvas atau kertas gambar. Mendapatkan gambar melalui proses melukis ini sangat beda dibanding dengan reproduksi foto belaka. Karena dalam proses melukis inilah kita bisa mendapatkan hal-hal yang tak didapat melalui foto. Meski hanya “mencontoh” nampakan melalui lensa mikroskop, namun dibutuhkan kemampuan melukis untuk bisa mendapatkan hasil yang bagus.
 
      Kemampuan melukis itu juga sangat berguna manakala kita menjalani profesi sebagai insinyur mesin misalnya, teknik sipil, kedokteran, apalagi menjadi arsitek. Bahkan, berbekal kemampuan melukis itu dapat dikembangkan untuk memasuki profesi desainer yang sangat beragam, seperti: desain busana, grafis, webdesign, desain produk atau interior dan pertamanan. Bahkan, dengan mendalami kemampuan melukis juga dapat memasuki jurusan senirupa dan menjadi intelektual seni rupa. Dengan kata lain, menjadi pelukis tidak identik dengan seniman otodidak yang tidak memiliki basis pengetahuan ilmiah. Pelukis yang juga profesor doktor itu juga merupakan profesi yang tak bisa diremehkan.
Bahkan, bercita-cita menjadi pelukis yang “kaya raya” sudah tidak menjadi hal yang mustahil lagi. Sudah banyak contoh pelukis yang kaya raya hanya dengan menekuni profesinya sebagai pelukis. Bahwa lukisan sudah menjadi investasi yang nilainya terus meningkat. Banyak cerita pelukis yang “tidak sempat menyimpan lukisan” karena karyanya sudah laku sebelum dikerjakan. Ini bukan contoh pelukis luar negeri sebagaimana dulu, melainkan dialami oleh para pelukis Indonesia, yang sebagian malah masih berusia muda. 

     Bagaimana Menjadi Pelukis?

Pertama-tama, musti dijelaskan dulu, bahwa yang dimaksud “pelukis” di sini bukan profesi seorang pelukis, melainkan “orang yang mampu membuat lukisan”. Sama dengan orang yang menyanyi, disebut “penyanyi” meski dia bukan berprofesi menjadi penyanyi.

Untuk bisa menjadi pelukis, setidaknya ada tiga hal yang harus dikuasai. Pertama, adalah apa yang disebut dengan (mata pelajaran) Pengenalan Bahan dan Alat (PBA). Seorang pelukis harus kenal betul bahan-bahan dan alat-alat apa saja yang digunakan untuk melukis. Alat untuk melukis itu berupa kuas, pensil, atau pisau palet kalau diperlukan. Sedangkan bahannya berupa kanvas atau kertas, cat, dan pigura. Kesemuanya ini harus dikenali dengan baik jenis-jenisnya, fungsinya, kelebihan dan kekurangannya. Kalau toh tidak bermaksud menguasai semuanya, maka minimal tahu persis jenis bahan dan alat yang menjadi pilihannya.

     Misalnya kita memilih melukis dengan cat minyak. Maka kita harus tahu jenis kuas apa yang cocok digunakan untuk cat minyak. Ada berapa macam dan apa saja kegunaan masing-masing jenis kuas tersebut. Apakah kita menggunakan pisau palet?

Demikian pula jenis-jenis cat minyak dari berbagai merk, yang tentunya juga memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri. Juga kanvasnya, jenis apa yang cocok digunakan? Yang halus apa yang kasar? Bukan semata-mata soal harga, melainkan spesifikasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan lukisan yang diinginkan. Sekadar tahu saja, para pelukis yang kesulitan modal, dulu sering menggunakan kain karung bekas kantung terigu yang diproses sedemikian rupa sehingga menjadi kanvas yang siap lukis. 

     Kedua, adalah kemampuan teknik untuk melukis. Kita harus belajar mulai dari yang paling dasar, misalnya membuat garis, bentuk, komposisi, gradasi, melukis alam benda, sketsa, sampai dengan merepro foto atau lukisan lain. Pertama-tama memang meniru, lama-lama membuat sendiri sampai didapatkan kemampuan teknis yang memungkinkan untuk melukis apa saja. Hal ini membutuhkan latihan panjang, berulang-ulang, dan tidak boleh bosan.

Demikian pula yang menyangkut teknis melukisnya itu sendiri. Apakah kita akan melukis secara realis-naturalis? Ataukah dibuat impresinya saja, ekspresif, ataukah bentuknya distilir sedemikian rupa sehingga menjadi lukisan dekoratif? Atau, mungkin tidak menggunakan bentuk-bentuk figuratif sama sekali, yang secara awam disebut “lukisan abstrak” itu. Sekali lagi, tidak harus menguasai semuanya, namun minimal harus paham betul teknik melukis yang menjadi pilihan kita. Meskipun, melukis naturalis sering disebut-sebut sebagai kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh pelukis yang memilih gaya melukis apapun. 

     Ketiga, yaitu bagaimana mendapatkan gagasan lukisan. Kita mau melukis apa? Gagasan apa yang hendak kita sampaikan melalui lukisan yang hendak kita buat itu? Apakah kita hanya sekadar menghadirkan hiasan belaka ataukah ada suatu pesan yang musti disampaikan kepada publik. Karena menghadapi sebuah lukisan tidak hanya berhenti sebatas “ini gambar apa”, melainkan “ada apa” di balik “apa” itu.

Misalnya gambar burung, tidak lantas berhenti dengan jawaban, “oo ini gambar burung”. Tetapi burung apa, bagaimana posisinya, sedang ada dimana, bagaimana lingkungan sekitarnya, bagaimana teknik menggambarnya, komposisinya, suasananya dan banyak hal yang menjadikan gambar burung itu bukan sekadar “burung” itu saja. Ada suatu pesan yang dapat tersampaikan dengan hanya menghadirkan gambar seekor burung itu saja. Dengan kata lain, gambar burung itu hanya sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tertentu yang diinginkan pelukisnya.

Itulah yang membedakan lukisan dengan rambu lalulintas. Kalau ada bulatan merah digaris putih melintang, itu tandanya kendaraan tidak boleh masuk jalan itu. Kalau ada tulisan huruf P dicoret di tengah bulatan, itu artinya dilarang parkir. Kalau ada gambar sendok garpu, itu menunjukkan ada rumah makan di dekat situ. Kesemua rambu lalulintas itu selalu memiliki makna tunggal (mono interpretable), tidak boleh ada orang yang memberikan arti yang berbeda sedikitpun. 

     Nah, bedanya dengan lukisan, dan juga karya seni pada umumnya, cenderung bermakna banyak (poly interpretable). Sebuah lukisan yang sama bisa dimaknai secara berbeda oleh orang yang lain. Bahkan, bisa jadi sama sekali berbeda dengan yang diinginkan pelukisnya. Keberagaman tafsir atas sebuah lukisan ini sah-sah saja, tidak perlu dipersoalkan. Penafsiran yang berbeda ini sangat tergantung pada kekayaan memori orang yang mengamatinya. Baik memori yang bersifat internal (pengalaman pribadinya sendiri), atau memori eksternal (pengaruh lingkungan budaya tempat tinggalnya). 

     Sekadar memperjelas apa yang disampaikan terakhir tadi, misalnya mereka yang punya pengalaman takut dengan ular misalnya, maka ketika dia melihat lukisan yang banyak menampilkan garis-garis lengkung meliuk-liuk, maka memori ketakutannya terhadap ular otomatis muncul. Kemudian dia langsung mengaitkan garis meliuk-liuk itu seperti ular yang menakutkan atau menimbulkan kengerian tersendiri. Padahal, bisa jadi orang lain memaknai garis meliuk-liuk itu adalah gelombang suara. 

     Sementara pengaruh eksternal berupa lingkungan budaya, orang yang hidup dan banyak berinteraksi dengan laut misalnya, cenderung akan mengartikan suasana laut ketika melihat warna biru dan garis-garis yang bergelora. Orang lain yang memiliki latarbelakang kultural religius bisa jadi memaknai dominasi warna biru itu sebagai gambaran akherat yang kekal dan jauh tak terjangkau.

Lukisan yang Bagus
     Lantas, bagaimana yang disebut lukisan yang bagus itu? Pertanyaan ini standar saja dan sering ditanyakan oleh banyak orang. Mengapa lukisan tertentu dikatakan bagus, sedangkan yang lain dikatakan jelek? Karena lukisan adalah sebuah karya seni, maka ukuran bagus itu tentu saja relatif. Parameternya harus jelas dulu sebelum menilai bagus atau tidak.

Sebagaimana disebutkan tiga syarat menjadi pelukis di atas, maka salah satu atau ketiga syarat itulah yang dapat menjadi parameter untuk menyebut lukisan itu bagus atau tidak. Misalnya saja, apakah pelukisnya sudah betul-betul menguasai PBA, menguasai teknik melukis, dan mampu menampilkan gagasan yang jelas?
 
      Parameter seperti inipun masih bisa ditambah lagi atau bahkan dipertajam tergantung tujuan melakukan penilaian lukisan bagus atau tidak bagus itu. Nah, proses penilaian inilah yang merupakan bagian dari kuratorial. Dalam sebuah pameran lukisan bersama, biasanya ditentukan tema pameran. Proses kuratorial itu dilakukan oleh Kurator (bisa seorang atau tim) untuk melakukan seleksi atas lukisan yang sesuai dengan tema yang ditetapkan. Sepanjang lukisan yang disertakan sudah melewati nilai-nilai standar sebagai lukisan yang “layak” (yaitu memenuhi ketiga syarat tersebut di atas), maka tugas kurator memilih lukisan yang cocok dengan tema pameran. Jadi, yang kemudian tidak terpilih, bukan berarti lukisan tersebut jelek, melainkan kurang sesuai dengan tema yang telah ditetapkan dalam pameran saat itu.

     Dalam penilaian subyektif personal, lukisan yang bagus adalah lukisan yang mampu “bercerita banyak” ketika dinikmati. Lukisan itu tidak hanya selesai hanya sekilas pandang saja, melainkan membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk dapat “membaca” semuanya. Memandangi lukisan itu, seperti membaca sebuah artikel atau cerpen misalnya.

Analogi dengan gadis yang cantik misalnya, bagaimanakah kita menilai wajah atau sosok gadis yang cantik itu? Parameter yang berkembang (baca: berkuasa) selama ini, gadis cantik itu yang berwajah keindoan, kulit putih, langsing, tinggi, rambut lurus tergerai dan sebagainya. Pertanyaannya adalah, siapakah yang menentukan parameter kecantikan tersebut? Asal tahu saja, salah satunya adalah produsen shampoo. Mana ada iklan yang membanggakan shampoo untuk rambut keriting misalnya? Produsen kosmetik pemutih kulit dan pelangsing tubuh juga berkepentingan untuk menentukan parameter gadis yang cantik, agar dagangannya laku. Jadi, ada kekuatan industri yang sangat berkepentingan menentukan parameter kecantikan tersebut.
 
      Demikian pula soal lukisan. Jangan cepat menjadi silau kalau tahu ada lukisan yang laku dengan harga fantastis. Karena bisnis lukisan sudah sampai pada tahap yang memang memungkikan untuk itu. Tumbuh suburnya galeri-galeri seni rupa, lahirnya kolektor-kolektor di berbagai daerah, bahkan semakin sering penyelenggaraan pameran (dan terutama lelang), kesemuanya ikut mengkatrol harga lukisan menjadi sangat mahal. Ini memang permainan pedagang. Wajar-wajar saja.

Kemudian, seringkali pula orang bertanya, mengapa ada lukisan yang harganya sampai milyaran rupiah? Padahal kalau dilihat sepintas lukisan itu ”biasa-biasa saja”. Jawabannya adalah, tidak ada hubungan antara harga mahal dan lukisan bagus. Masing-masing memiliki parameter yang berbeda. Hal ini karena lukisan, seperti juga benda seni lainnya, tidak punya standar nilai harga yang absolut. Sama seperti harga sebutir batu akik yang bernilai jutaan rupiah, sementara bagi orang lain tak ada harganya sama sekali. Diberi saja tidak mau. 

     Sekadar ilustrasi, lukisan karya Van Gogh, sama sekali tidak ada harganya ketika pelukis Belanda yang terkenal itu masih hidup. Tetapi ketika kemudian Van Gogh meninggal dunia, kakaknya mengelola dan mempromosikan sedemikian rupa sehingga lukisan Van Gogh bernilai milyaran rupiah, yang menjadi salah satu dari sedikit lukisan dunia termahal saat ini.

Jadi, ada banyak faktor yang menjadikan lukisan berharga mahal. Dan faktor yang sangat dominan adalah faktor dagang. Ini hukum pasar. Berapapun harga yang dibandrol, selama ada pembelinya maka sah-sah saja. Hal ini berlaku dalam bisnis tanaman hias bernama Anthurium, yang beberapa waktu yang lalu bisa bernilai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk satu pot tanaman. Tapi apa yang terjadi sekarang? Tanaman berdaun mirip tembakau itu hanya sekadar hiasan beranda rumah saja. 

Epilog
     Pendidikan seni rupa di SMA, sebaiknya tidak dimaknai sebagai pelajaran minor yang keberadaannya boleh ada boleh tidak. Seni rupa musti diposisikan sebagai pelajaran yang seharusnya dapat menunjang siswa untuk dapat lebih mudah menguasai pelajaran lainnya. Seni rupa bukan hanya melukis, karena melukis hanya sebagian kecil dari ketrampilan bersenirupa. Prinsip dasar dari pelajaran seni rupa adalah bagaimana menyampaikan sesuatu dalam bahasa visual (rupa).

Sesungguhnya seni rupa adalah sebuah cara untuk mengubah teks menjadi konteks. Atau mencabut sebuah teks dari konteksnya dan memberikan konteks yang baru. Kalau bingung, contohnya adalah sepatu misalnya. Nah, sepatu adalah sebuah teks. Konteks dari sepatu adalah sebagai alas kaki. Jadi, selama sepatu dipergunakan sebagai alas kaki, maka tidak akan ada yang bertanya apapun. Teks sepatu dalam konteksnya sebagai alas kaki tidak menimbulkan persoalan apa-apa.

     Sekarang misalkan saja sepatu tadi kita letakkan di sebuah tatakan yang biasa digunakan untuk pameran keramik atau patung. Kita posisikan sepatu itu dengan alas sebuah piring yang bagus yang biasa dikenal sebagai tempat makan. Kemudian kita tempatkan di tengah ruangan dengan sorot lampu dari berbagai arah. Maka, sepatu tadi sudah tercerabut dari konteksnya dan mendapatkan konteks baru sebagai karya seni rupa yang multi interpretable. Pasti orang akan bertanya-tanya, “apa maksudnya ini?” Dan jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan di atas, akan tergantung pada memori internal serta memori eksternal masing-masing orang. 

     Bukan jawabannya yang penting, tetapi dengan menghadirkan sepatu dalam kondisi seperti itu sudah berhasil melahirkan sebuah persoalan tersendiri ketimbang kalau sepatu itu hanya sekadar digunakan sebagai alas kaki. Itulah hakekat seni rupa. 

     Nah, dengan mengambil contoh “seni rupa sepatu” itu, maka seorang perupa (seniman rupa, visual artis), tidak mutlak membutuhkan ketrampilan melukis sebagaimana kalau dia membuat karya seni lukis. Mencabut teks dari konteks dengan membuat teks yang baru ini juga bisa dilakukan di atas kanvas, misalnya melukis mawar yang tumbuh dari kepala manusia. Melukis hutan dengan pepohonan berupa cerobong-cerobong asap pabrik. Dan masih banyak “kenakalan” yang dapat diciptakan oleh seorang pelukis atau perupa. Justru di sinilah letak kelebihan perupa atau seniman ada umumnya, karena dapat menciptakan dunia menurut pikiran dan perasaannya sendiri. 

     Tinggal sekarang, bagaimana guru seni rupa di SMA sendiri agar memiliki wawasan yang luas ketika mengajarkan seni rupa kepada siswa-siswanya. Bagaimana pula pandangan guru-guru mata pelajaran yang lain dalam memahami pelajaran seni rupa yang seharusnya tidak dianggap sebagai mata pelajaran sampingan yang asal ada. Seorang guru biologi bisa saja menugaskan siswanya melukis struktur tubuh manusia yang tentunya butuh kemampuan melukis yang bagus untuk dapat mengerjakannya. 

     Semua mata pelajaran yang diajarkan di SMA, seharusnya berada dalam satu tarikan nafas yang sama sebagai sarana untuk mencerdaskan siswa, menciptakan kreativitas, mendorong semangat berinovasi, dan sekaligus melatih kepekaan rasa. Hakekat pendidikan adalah menciptakan suatu kondisi sedemikian rupa agar setiap siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing.
Itulah ajaran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
 

Sumber: http://www.henrinurcahyo.wordpress.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar