Belajar seni
lukis tidak harus...
Belajar seni lukis tidak harus menjadi pelukis. Bahwasanya seni lukis, dan seni rupa
umumnya, bukanlah sebuah pelajaran eksklusif yang tak berhubungan dengan
pelajaran lain. Boleh-boleh saja menjadi dokter, insinyur, tentara, bisnisman
ataupun politikus, tetapi kesemua profesi itu akan lebih bermakna manakala juga
menguasai seni lukis atau seni rupa.
Pemahaman
mengenai hakekat seni rupa itulah yang musti dipahami oleh siswa Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang notabene merupakan sekolah umum, bukan sekolah kejuruan,
apalagi sekolah menengah khusus seni rupa. Tanpa pemahaman yang tepat, maka
pelajaran seni rupa akan diremehkan, dianggap tidak ada manfaatnya. Apalagi,
jelas-jelas pelajaran seni rupa tidak ada kaitannya sama sekali dengan ujian
nasional.
Mengapa seni rupa merupakan hal penting? Karena melalui seni rupa (atau seni
apa saja) sebetulnya orang dapat melatih kepekaan rasa, mengolah emosi,
mempertajam perasaan, dan menyalurkan apa yang menjadi ungkapan hati serta
melatih kreativitas. Melalui seni rupa kita dapat mengubah bahasa rasa menjadi
bahasa visual. Apakah yang disebut sedih? Gembira? Terpesona? Kagum? Dan
sebagainya. Itu semua bahasa perasaan, yang tak bisa dideskripsikan melalui
kata-kata secara tepat, melainkan hanya dapat diungkapkan melalui karya seni,
termasuk seni rupa.
Seni lukis dapat menjadi “jembatan keledai” untuk melakukan pengamatan secara lebih teliti. Sebut saja wajah teman sekolah kita yang ketemu tiap hari, bisa saja sudah merasa hapal sampai dengan letak jerawatnya misalnya. Tetapi ketika kita mencoba memindahkannya di atas kanvas, atau kertas lukis, maka akan ditemukan hal-hal baru yang lebih detil. Misalnya saja, posisi alisnya cenderung tidak simetris, atau garis bibirnya ternyata agak melengkung ke arah tertentu, atau juga bisa jadi ditemukan ada titik kecil di pipinya. Temuan-temuan seperti ini sangat penting sebagai latihan untuk melakukan pengamatan secara teliti.
Seni lukis dapat menjadi “jembatan keledai” untuk melakukan pengamatan secara lebih teliti. Sebut saja wajah teman sekolah kita yang ketemu tiap hari, bisa saja sudah merasa hapal sampai dengan letak jerawatnya misalnya. Tetapi ketika kita mencoba memindahkannya di atas kanvas, atau kertas lukis, maka akan ditemukan hal-hal baru yang lebih detil. Misalnya saja, posisi alisnya cenderung tidak simetris, atau garis bibirnya ternyata agak melengkung ke arah tertentu, atau juga bisa jadi ditemukan ada titik kecil di pipinya. Temuan-temuan seperti ini sangat penting sebagai latihan untuk melakukan pengamatan secara teliti.
Hal yang sama dapat dilakukan ketika melukis selembar daun misalnya. Kita menjadi tahu bagaimana susunan rangkanya, bagaimana detil garis pinggir daunnya, bahkan dalam hal warna kita juga bisa mengamati dengan jelas bagaimana gradasi warnanya. Bukankah pengamatan daun ini merupakan dan pasti ada hubungannya dengan pelajaran biologi (khususnya botani?). Ini hanya salah satu contoh, bahwa kemampuan melukis ternyata erat hubungannya dengan pelajaran biologi.
Demikian pula ketika praktek biologi (khususnya zoology, yang merupakan cikal bakal kedokteran), dengan mengamati mikroskop, maka akan didapatkan gambaran yang unik dari jaringan tubuh, tetes darah, atau sel-sel hewan. Nampakan melalui lensa mikroskop itu tentu akan menjadi obyek yang sangat menarik ketika divisualkan ke atas kanvas atau kertas gambar. Mendapatkan gambar melalui proses melukis ini sangat beda dibanding dengan reproduksi foto belaka. Karena dalam proses melukis inilah kita bisa mendapatkan hal-hal yang tak didapat melalui foto. Meski hanya “mencontoh” nampakan melalui lensa mikroskop, namun dibutuhkan kemampuan melukis untuk bisa mendapatkan hasil yang bagus.
Kemampuan melukis itu juga sangat berguna manakala kita menjalani profesi sebagai insinyur mesin misalnya, teknik sipil, kedokteran, apalagi menjadi arsitek. Bahkan, berbekal kemampuan melukis itu dapat dikembangkan untuk memasuki profesi desainer yang sangat beragam, seperti: desain busana, grafis, webdesign, desain produk atau interior dan pertamanan. Bahkan, dengan mendalami kemampuan melukis juga dapat memasuki jurusan senirupa dan menjadi intelektual seni rupa. Dengan kata lain, menjadi pelukis tidak identik dengan seniman otodidak yang tidak memiliki basis pengetahuan ilmiah. Pelukis yang juga profesor doktor itu juga merupakan profesi yang tak bisa diremehkan.
Bahkan, bercita-cita menjadi pelukis yang “kaya raya” sudah tidak menjadi hal yang mustahil lagi. Sudah banyak contoh pelukis yang kaya raya hanya dengan menekuni profesinya sebagai pelukis. Bahwa lukisan sudah menjadi investasi yang nilainya terus meningkat. Banyak cerita pelukis yang “tidak sempat menyimpan lukisan” karena karyanya sudah laku sebelum dikerjakan. Ini bukan contoh pelukis luar negeri sebagaimana dulu, melainkan dialami oleh para pelukis Indonesia, yang sebagian malah masih berusia muda.
Bagaimana
Menjadi Pelukis?
Pertama-tama,
musti dijelaskan dulu, bahwa yang dimaksud “pelukis” di sini bukan profesi
seorang pelukis, melainkan “orang yang mampu membuat lukisan”. Sama dengan
orang yang menyanyi, disebut “penyanyi” meski dia bukan berprofesi menjadi
penyanyi.
Untuk bisa
menjadi pelukis, setidaknya ada tiga hal yang harus dikuasai. Pertama, adalah
apa yang disebut dengan (mata pelajaran) Pengenalan Bahan dan Alat (PBA).
Seorang pelukis harus kenal betul bahan-bahan dan alat-alat apa saja yang
digunakan untuk melukis. Alat untuk melukis itu berupa kuas, pensil, atau pisau
palet kalau diperlukan. Sedangkan bahannya berupa kanvas atau kertas, cat, dan
pigura. Kesemuanya ini harus dikenali dengan baik jenis-jenisnya, fungsinya,
kelebihan dan kekurangannya. Kalau toh tidak bermaksud menguasai semuanya, maka
minimal tahu persis jenis bahan dan alat yang menjadi pilihannya.
Misalnya
kita memilih melukis dengan cat minyak. Maka kita harus tahu jenis kuas apa
yang cocok digunakan untuk cat minyak. Ada berapa macam dan apa saja kegunaan
masing-masing jenis kuas tersebut. Apakah kita menggunakan pisau palet?
Demikian
pula jenis-jenis cat minyak dari berbagai merk, yang tentunya juga memiliki
kelebihan dan kekurangan sendiri. Juga kanvasnya, jenis apa yang cocok
digunakan? Yang halus apa yang kasar? Bukan semata-mata soal harga, melainkan
spesifikasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan lukisan yang diinginkan. Sekadar
tahu saja, para pelukis yang kesulitan modal, dulu sering menggunakan kain
karung bekas kantung terigu yang diproses sedemikian rupa sehingga menjadi
kanvas yang siap lukis.
Kedua,
adalah kemampuan teknik untuk melukis. Kita harus belajar mulai dari yang
paling dasar, misalnya membuat garis, bentuk, komposisi, gradasi, melukis alam
benda, sketsa, sampai dengan merepro foto atau lukisan lain. Pertama-tama
memang meniru, lama-lama membuat sendiri sampai didapatkan kemampuan teknis
yang memungkinkan untuk melukis apa saja. Hal ini membutuhkan latihan panjang,
berulang-ulang, dan tidak boleh bosan.
Demikian
pula yang menyangkut teknis melukisnya itu sendiri. Apakah kita akan melukis secara
realis-naturalis? Ataukah dibuat impresinya saja, ekspresif, ataukah bentuknya
distilir sedemikian rupa sehingga menjadi lukisan dekoratif? Atau, mungkin
tidak menggunakan bentuk-bentuk figuratif sama sekali, yang secara awam disebut
“lukisan abstrak” itu. Sekali lagi, tidak harus menguasai semuanya, namun
minimal harus paham betul teknik melukis yang menjadi pilihan kita. Meskipun,
melukis naturalis sering disebut-sebut sebagai kemampuan dasar yang harus
dikuasai oleh pelukis yang memilih gaya melukis apapun.
Ketiga,
yaitu bagaimana mendapatkan gagasan lukisan. Kita mau melukis apa? Gagasan apa
yang hendak kita sampaikan melalui lukisan yang hendak kita buat itu? Apakah
kita hanya sekadar menghadirkan hiasan belaka ataukah ada suatu pesan yang
musti disampaikan kepada publik. Karena menghadapi sebuah lukisan tidak hanya
berhenti sebatas “ini gambar apa”, melainkan “ada apa” di balik “apa” itu.
Misalnya
gambar burung, tidak lantas berhenti dengan jawaban, “oo ini gambar burung”.
Tetapi burung apa, bagaimana posisinya, sedang ada dimana, bagaimana lingkungan
sekitarnya, bagaimana teknik menggambarnya, komposisinya, suasananya dan banyak
hal yang menjadikan gambar burung itu bukan sekadar “burung” itu saja. Ada
suatu pesan yang dapat tersampaikan dengan hanya menghadirkan gambar seekor
burung itu saja. Dengan kata lain, gambar burung itu hanya sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan tertentu yang diinginkan pelukisnya.
Itulah yang
membedakan lukisan dengan rambu lalulintas. Kalau ada bulatan merah digaris
putih melintang, itu tandanya kendaraan tidak boleh masuk jalan itu. Kalau ada
tulisan huruf P dicoret di tengah bulatan, itu artinya dilarang parkir. Kalau
ada gambar sendok garpu, itu menunjukkan ada rumah makan di dekat situ. Kesemua
rambu lalulintas itu selalu memiliki makna tunggal (mono interpretable), tidak
boleh ada orang yang memberikan arti yang berbeda sedikitpun.
Nah, bedanya
dengan lukisan, dan juga karya seni pada umumnya, cenderung bermakna banyak
(poly interpretable). Sebuah lukisan yang sama bisa dimaknai secara berbeda
oleh orang yang lain. Bahkan, bisa jadi sama sekali berbeda dengan yang
diinginkan pelukisnya. Keberagaman tafsir atas sebuah lukisan ini sah-sah saja,
tidak perlu dipersoalkan. Penafsiran yang berbeda ini sangat tergantung pada
kekayaan memori orang yang mengamatinya. Baik memori yang bersifat internal
(pengalaman pribadinya sendiri), atau memori eksternal (pengaruh lingkungan
budaya tempat tinggalnya).
Sekadar
memperjelas apa yang disampaikan terakhir tadi, misalnya mereka yang punya
pengalaman takut dengan ular misalnya, maka ketika dia melihat lukisan yang
banyak menampilkan garis-garis lengkung meliuk-liuk, maka memori ketakutannya
terhadap ular otomatis muncul. Kemudian dia langsung mengaitkan garis
meliuk-liuk itu seperti ular yang menakutkan atau menimbulkan kengerian
tersendiri. Padahal, bisa jadi orang lain memaknai garis meliuk-liuk itu adalah
gelombang suara.
Sementara
pengaruh eksternal berupa lingkungan budaya, orang yang hidup dan banyak
berinteraksi dengan laut misalnya, cenderung akan mengartikan suasana laut
ketika melihat warna biru dan garis-garis yang bergelora. Orang lain yang
memiliki latarbelakang kultural religius bisa jadi memaknai dominasi warna biru
itu sebagai gambaran akherat yang kekal dan jauh tak terjangkau.
Lukisan yang
Bagus
Lantas,
bagaimana yang disebut lukisan yang bagus itu? Pertanyaan ini standar saja dan
sering ditanyakan oleh banyak orang. Mengapa lukisan tertentu dikatakan bagus,
sedangkan yang lain dikatakan jelek? Karena lukisan adalah sebuah karya seni,
maka ukuran bagus itu tentu saja relatif. Parameternya harus jelas dulu sebelum
menilai bagus atau tidak.
Sebagaimana
disebutkan tiga syarat menjadi pelukis di atas, maka salah satu atau ketiga
syarat itulah yang dapat menjadi parameter untuk menyebut lukisan itu bagus
atau tidak. Misalnya saja, apakah pelukisnya sudah betul-betul menguasai PBA,
menguasai teknik melukis, dan mampu menampilkan gagasan yang jelas?
Parameter seperti inipun masih bisa ditambah lagi atau bahkan dipertajam tergantung tujuan melakukan penilaian lukisan bagus atau tidak bagus itu. Nah, proses penilaian inilah yang merupakan bagian dari kuratorial. Dalam sebuah pameran lukisan bersama, biasanya ditentukan tema pameran. Proses kuratorial itu dilakukan oleh Kurator (bisa seorang atau tim) untuk melakukan seleksi atas lukisan yang sesuai dengan tema yang ditetapkan. Sepanjang lukisan yang disertakan sudah melewati nilai-nilai standar sebagai lukisan yang “layak” (yaitu memenuhi ketiga syarat tersebut di atas), maka tugas kurator memilih lukisan yang cocok dengan tema pameran. Jadi, yang kemudian tidak terpilih, bukan berarti lukisan tersebut jelek, melainkan kurang sesuai dengan tema yang telah ditetapkan dalam pameran saat itu.
Dalam
penilaian subyektif personal, lukisan yang bagus adalah lukisan yang mampu
“bercerita banyak” ketika dinikmati. Lukisan itu tidak hanya selesai hanya
sekilas pandang saja, melainkan membutuhkan waktu yang cukup banyak untuk dapat
“membaca” semuanya. Memandangi lukisan itu, seperti membaca sebuah artikel atau
cerpen misalnya.
Analogi
dengan gadis yang cantik misalnya, bagaimanakah kita menilai wajah atau sosok
gadis yang cantik itu? Parameter yang berkembang (baca: berkuasa) selama ini,
gadis cantik itu yang berwajah keindoan, kulit putih, langsing, tinggi, rambut
lurus tergerai dan sebagainya. Pertanyaannya adalah, siapakah yang menentukan
parameter kecantikan tersebut? Asal tahu saja, salah satunya adalah produsen
shampoo. Mana ada iklan yang membanggakan shampoo untuk rambut keriting
misalnya? Produsen kosmetik pemutih kulit dan pelangsing tubuh juga
berkepentingan untuk menentukan parameter gadis yang cantik, agar dagangannya
laku. Jadi, ada kekuatan industri yang sangat berkepentingan menentukan
parameter kecantikan tersebut.
Demikian pula soal lukisan. Jangan cepat menjadi silau kalau tahu ada lukisan yang laku dengan harga fantastis. Karena bisnis lukisan sudah sampai pada tahap yang memang memungkikan untuk itu. Tumbuh suburnya galeri-galeri seni rupa, lahirnya kolektor-kolektor di berbagai daerah, bahkan semakin sering penyelenggaraan pameran (dan terutama lelang), kesemuanya ikut mengkatrol harga lukisan menjadi sangat mahal. Ini memang permainan pedagang. Wajar-wajar saja.
Kemudian,
seringkali pula orang bertanya, mengapa ada lukisan yang harganya sampai
milyaran rupiah? Padahal kalau dilihat sepintas lukisan itu ”biasa-biasa saja”.
Jawabannya adalah, tidak ada hubungan antara harga mahal dan lukisan bagus.
Masing-masing memiliki parameter yang berbeda. Hal ini karena lukisan, seperti
juga benda seni lainnya, tidak punya standar nilai harga yang absolut. Sama
seperti harga sebutir batu akik yang bernilai jutaan rupiah, sementara bagi
orang lain tak ada harganya sama sekali. Diberi saja tidak mau.
Sekadar
ilustrasi, lukisan karya Van Gogh, sama sekali tidak ada harganya ketika
pelukis Belanda yang terkenal itu masih hidup. Tetapi ketika kemudian Van Gogh
meninggal dunia, kakaknya mengelola dan mempromosikan sedemikian rupa sehingga
lukisan Van Gogh bernilai milyaran rupiah, yang menjadi salah satu dari sedikit
lukisan dunia termahal saat ini.
Jadi, ada
banyak faktor yang menjadikan lukisan berharga mahal. Dan faktor yang sangat
dominan adalah faktor dagang. Ini hukum pasar. Berapapun harga yang dibandrol,
selama ada pembelinya maka sah-sah saja. Hal ini berlaku dalam bisnis tanaman
hias bernama Anthurium, yang beberapa waktu yang lalu bisa bernilai puluhan
atau bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk satu pot tanaman. Tapi apa yang
terjadi sekarang? Tanaman berdaun mirip tembakau itu hanya sekadar hiasan
beranda rumah saja.
Epilog
Pendidikan
seni rupa di SMA, sebaiknya tidak dimaknai sebagai pelajaran minor yang
keberadaannya boleh ada boleh tidak. Seni rupa musti diposisikan sebagai
pelajaran yang seharusnya dapat menunjang siswa untuk dapat lebih mudah
menguasai pelajaran lainnya. Seni rupa bukan hanya melukis, karena melukis
hanya sebagian kecil dari ketrampilan bersenirupa. Prinsip dasar dari pelajaran
seni rupa adalah bagaimana menyampaikan sesuatu dalam bahasa visual (rupa).
Sesungguhnya
seni rupa adalah sebuah cara untuk mengubah teks menjadi konteks. Atau mencabut
sebuah teks dari konteksnya dan memberikan konteks yang baru. Kalau bingung,
contohnya adalah sepatu misalnya. Nah, sepatu adalah sebuah teks. Konteks dari
sepatu adalah sebagai alas kaki. Jadi, selama sepatu dipergunakan sebagai alas
kaki, maka tidak akan ada yang bertanya apapun. Teks sepatu dalam konteksnya
sebagai alas kaki tidak menimbulkan persoalan apa-apa.
Sekarang
misalkan saja sepatu tadi kita letakkan di sebuah tatakan yang biasa digunakan
untuk pameran keramik atau patung. Kita posisikan sepatu itu dengan alas sebuah
piring yang bagus yang biasa dikenal sebagai tempat makan. Kemudian kita
tempatkan di tengah ruangan dengan sorot lampu dari berbagai arah. Maka, sepatu
tadi sudah tercerabut dari konteksnya dan mendapatkan konteks baru sebagai
karya seni rupa yang multi interpretable. Pasti orang akan bertanya-tanya, “apa
maksudnya ini?” Dan jawabannya adalah, sebagaimana dijelaskan di atas, akan
tergantung pada memori internal serta memori eksternal masing-masing orang.
Bukan
jawabannya yang penting, tetapi dengan menghadirkan sepatu dalam kondisi
seperti itu sudah berhasil melahirkan sebuah persoalan tersendiri ketimbang
kalau sepatu itu hanya sekadar digunakan sebagai alas kaki. Itulah hakekat seni
rupa.
Nah, dengan
mengambil contoh “seni rupa sepatu” itu, maka seorang perupa (seniman rupa,
visual artis), tidak mutlak membutuhkan ketrampilan melukis sebagaimana kalau
dia membuat karya seni lukis. Mencabut teks dari konteks dengan membuat teks
yang baru ini juga bisa dilakukan di atas kanvas, misalnya melukis mawar yang
tumbuh dari kepala manusia. Melukis hutan dengan pepohonan berupa
cerobong-cerobong asap pabrik. Dan masih banyak “kenakalan” yang dapat
diciptakan oleh seorang pelukis atau perupa. Justru di sinilah letak kelebihan
perupa atau seniman ada umumnya, karena dapat menciptakan dunia menurut pikiran
dan perasaannya sendiri.
Tinggal
sekarang, bagaimana guru seni rupa di SMA sendiri agar memiliki wawasan yang
luas ketika mengajarkan seni rupa kepada siswa-siswanya. Bagaimana pula
pandangan guru-guru mata pelajaran yang lain dalam memahami pelajaran seni rupa
yang seharusnya tidak dianggap sebagai mata pelajaran sampingan yang asal ada.
Seorang guru biologi bisa saja menugaskan siswanya melukis struktur tubuh
manusia yang tentunya butuh kemampuan melukis yang bagus untuk dapat
mengerjakannya.
Semua mata
pelajaran yang diajarkan di SMA, seharusnya berada dalam satu tarikan nafas
yang sama sebagai sarana untuk mencerdaskan siswa, menciptakan kreativitas,
mendorong semangat berinovasi, dan sekaligus melatih kepekaan rasa. Hakekat
pendidikan adalah menciptakan suatu kondisi sedemikian rupa agar setiap siswa
dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing.
Itulah ajaran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Itulah ajaran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Sumber: http://www.henrinurcahyo.wordpress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar